Belalang dimakan? Ini Dia Walang Goreng dari Gunung Kidul

Belalang dimakan? Ini Dia Walang Goreng dari Gunung Kidul

Walang goreng atau belalang goreng menjadi ikon wisata kuliner Gunung Kidul. Hal ini dilihat dari sejarah juga penggambaran walang goreng dari perspektif identitas, daerah, dan strategi lambang.

Strategi pelambangan walang gireng ini melalui faktor-faktor yang membentuk wisata kuliner di Gunung Kidul itu sendiri.

kuliner Gunung KidulMakanan Khas Gunung Kidul, Walang Goreng (sumber: Suara)

Belalang Goreng sebagai Kuliner Gunung Kidul

Keberadaan walang goreng sebagai simbol wisata kuliner Gunung Kidul diwujudkan dengan menjadikannya sebagai objek wisata Gunung Kidul. Kondisi yang seperti ini dapat membawa dampak sosial dan ekonomi bagi masyarakat Gunung Kidul

Wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah wajib berburu makanan. Oleh karena itu, jangan lewatkan belalang goreng saat berkunjung ke Kabupaten Gunung Kidul di Yogyakarta.

Selain terkenal dengan tempat wisatanya yang beragam, liburan ke Gunung Kidul tidak boleh melewatkan kulinernya. Belalang goreng adalah hidangan terbaik dan ada beberapa tempat yang memasak makanan ini. 

Jenis hewan yang digunakan adalah belalang kayu atau belalang yang ukurannya sangat besar dan memiliki rasa yang hampir sama.

Rasanya yang gurih dan renyah membuat banyak orang ketagihan dengan belalang goreng.

Mungkin di daerah lain belalang bukanlah hewan biasa yang bisa disulap menjadi makanan lezat. Belalang adalah hewan yang kaya protein. 

Kebanyakan orang yang pernah makan belalang goreng mengatakan bahwa rasa belalang hampir sama dengan udang.

Bumbu yang digunakan untuk menggoreng belalang sangat sederhana, yaitu bawang putih, ketumbar, dan garam. Cabai rawit ditambahkan ke rasa manis dan pedas. 

Belalang harus dibersihkan dari kotoran sebelum digoreng. Selanjutnya, belalang digoreng kering dan dimasak dengan bumbu cabai sehingga menghasilkan rasa belalang yang manis dan pedas. 

Anda bisa menikmati setiap bagian tubuh belalang, termasuk kepala dan kakinya.

Olahan walang goreng bisa disimpan hingga sebulan dan sangat cocok sebagai oleh-oleh setelah berkunjung ke Gunung Kidul. 

Walang goreng akan bertambah kelezatannya jika dimakan bersama nasi putih hangat dan sambal. Orang yang alergi terhadap makanan kaya protein harus berhati-hati saat mengonsumsi makanan ini. 

Sejumlah besar orang mengalami reaksi alergi setelah makan belalang.

Jika ingin membeli walang goreng, Anda bisa mengunjungi kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bunder di Jalan Gading III, Playen, Gunungkidul dan Wonosari, Yogyakarta. 

Baca Juga: Sejarah Bakpia Pathuk yang Banyak Belum Diketahui Orang

 

Jika telah membeli walang goreng, boleh ditambah pula dengan produk-produk pecibatik sebagai bahan oleh-oleh. Pecibatik ini sangat khas sekali dengan Yogyakarta juga nyaman untuk dipakai.

 

Nah itu dia ulasan mengenai kuliner Gunung Kidul yang tidak biasa, belalang goreng. Semoga bermanfaat!!

Sejarah Bakpia Pathuk yang Banyak Belum Diketahui Orang

Sejarah Bakpia Pathuk yang Banyak Belum Diketahui Orang

Cemilan satu ini terkenal di Yogyakarta dan menjadi ciri khas kota tersebut. Makanan ringan ini menjadi idaman banyak orang, tetapi sejarah tentang bakpia ini belum ada yang membahasnya.

Banyak orang membeli bakpia untuk dijadikan oleh-oleh sanak keluarga dan kerabat terdekatnya. Pada umumnya, bakpia ini adalah kue yang terbuat dari tepung terigu dan dipanggang .

Bakpia biasanya menggunakan isian kacang hijau yang dicampur dengan gula. Banyak yang menganggap bakpia ini berasal dari Yogyakarta, tetapi bakpia ternyata berasal dari negeri tirai bamboo atau China.

Kue bakpian merupakan salah satu bentuk dari akulturasi budaya, antara Indonesia dengan Tiongkok. Bakpia sendiri berasal dari dialek Hokkian yaitu Tolu Pia yang secara harfiah berarti kue atau roti berisi daging.

Kue yang berisikan daging ini kebih dikenal dengan pia atau kue pie di Indonesia.

Sejarah Bakpia dari Tiongkok

Ada beberapa versi sejarah bagaimana bakpia ini bisa terkenal di Yogyakarta. Awal mulanya, bakpia ini dibawa oleh imigran Tiongkok ke Yogyakarta pada abad ke 20.

Bakpia sudah ada di Yogyakarta sejak tahun 1930. Jenis kue ini dibawa oleh keluarga-keluarga pedagang Tiongkok yang bermukim di pusat Kota Yogyakarta.

Bakpia ini bukanlah kue spesial, melainkan pelengkap dari kue keranjang yang ada pada saat imlek. Kue ini bisa dikatakan sebagai cemilan atau snack.

Ada versi lain yang mengatakan bahwa bakpia dibawa oleh seorang pendatang Tiongkok pertama kali ke Yogyakarta pada tahun 1940-an, yaitu oleh Kwik Sun Kok.

Kwik Sun Kok menyewa sebidang tanah di daerah Suryowijayan, Kecamatan Mentrijeron, Yogyakarta dari penduduk lokal bernama Niti Gurnito.

Kemduian Kwik mencoba membuat bakpia ini dengan resep asli dari Tiongkok. Kwik membuat bakpia menggunakan bahan babi dan minyak babi denan isian bakpia yang menggunakan daging babi.

 

Baca juga: Sejarah Gudeg yang Perlu untuk Kita Pelajari

 

Namun, setelah mengetahui penduduk Yogyakarta mayoritas beragama Islam lantas Kwik mengganti isian bakpia dengan menggunakan kacang hijau. Kwik memanggang bakpia dengan arang yang Ia beli dari salah satu temannya, yang juga perantauan Tiongkok.

Ternyata cita rasa bakpia buatan Kwik ini cocok dengan lidah masyarakat Yogyakarta. Pada saat itu juga bakpia buatan Kwik mulai digemari banyak orang.

Kwik yang semula tinggal di kontrakan milik Niti Gurnito kemudian pindah ke sebelah barat Kampung Surowijayan. Di tempat barunya, Kwik melanjutkan usahanya membuat aneka makanan dan kue, termasuk bakpia.

Pada tahun 1960-an, Kwik meninggal dunia, usaha bakpia ini kemudian diteruskan oleh menantunya yang bernama Junikem. Pada tahun yang sama, teman Kwik yang pada mulanya hanya menyuplai arang juga mendirikan usaha bakpia.

Pada tahun 1948, Lim membuat resep bakpia yang baru, kemudian Ia juga pindah dari kawasan Pajeksan ke jalan Pathuk nomor 75.

Saat ini kemudian terkenal sebagai kawasan sentra bakpia pathuk 75.

Terdapat keluarga Tionghoa lainnya yang membuat usaha bakpia pada tahun 1948. Keluarga Tionghoa ini agak berbeda dalam membuat usaha bakpia.

Industri rumahan bakpia tersebut tidak dijual di toko, melainkan dijual dengan delivery atau dipesan terlebiih dahulu (pre order).

Pembeda Bakpia

Sepeninggalan Kwik, teryata Niti Gurnito juga membuka usaha bakpia pathuk. Hal ini dikarenakan Kwik pernah menyewa rumahnya dan sempat memberi resep rahasia untuk membuat bakpia.

Pada saat itu, pembeli bakpia masih tersekat. Misal, orang-orang Tionghoa lebih memilih untuk membeli bakpia di tempat sesama orang Tionghoa. Begitu pula sebaliknya, orang Yogyakarta lebih memiliki membeli bakpia di tempat Niti.

Bakpia-bakpia tersebut dapat dibedakan, antara buatan Niti Guritno dengan hasil dari orang Tionghoa. Perbedaan ini dilihat dari tekstur bakpia itu sendiri. Bakpia milik Niti Gurnito kulitnya lebih tebal daripada buatan orang Tionghoa.

Tidak lama setelah itu, bakpia Niti Gurnito menginspirasi banyak warga kawasan Tamansari. Mereka berlomba-lomba membuat usaha bakpia dan membuka toko bakpia.

bakpia

Pada tahun 1980, bakpia semakin populer di Yogyakarta. Banyak produsen bakpia rumahan menjual bakpia mereka di toko masing-masing di kawasan Pathuk.

Oleh sebab itu bakpia itu terkenal dengan nama bakpia pathuk karena usaha mereka di Jalan Pathuk.

Jika kalian berkunjung ke Yogyakarta jangan lupa membeli bakpia pathuk untuk oleh-oleh keluarga, teman, atau rekan kerja.

Bakpia pathuk memiliki varian rasa, yaitu ada varian kacang hijau, cokelat, keju, dan durian.  Anda harus pergi ke sentra bakpia untuk membelinya, yaitu di Jalan Pathuk Yogyakarta.

Produk-produk dari pecibatik pun juga dapat menjadi pilihan oleh-oleh selain bakpia. Pecibatik ini sangat khas dengan Yogyakarta, produk-produknya pun juga sangat nyaman untuk digunakan.

Semoga bermanfaat.

Sejarah Gudeg yang Perlu untuk Kita Pelajari

Sejarah Gudeg yang Perlu untuk Kita Pelajari

Makanan gudeg, hidangan satu ini pasti sudah banyak yang tahu juga banyak diburu oleh wisatawan. Selain dikenal dengan sebagai Kota Pelajar dan Kota Sepeda, Yogyakarta juga disebut dengan Kota Gudeg.

Bagi para wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta wajib mencicipi makanan gudeg dan membawanya pulang sebagai oleh-oleh.

Gudeg adalah makanan khas dari Yogyakarta yang diolah dari nangka muda dengan campuran santan. Olahan gudeg ini membutuhkan waktu berjam-jam untuk memasaknya. Gudeg memiliki ciri khas berwarna cokelat, warna ini dihasilkan dari daun jati yang dimasak dengan bersamaan.

Gudeg biasanya dimakan dengan menggunakan nasi dan disajikan dengan kuah santan atau areh, ayam kampung, telur, tahu, tempe dan krecek. Namun, jeroan areh, ceker, dan lain-lain dapat menjadi pelengkap.

Yogyakarta memiliki tiga jenis gudeg. Pertama, gudeg kering yang disajikan dengan areh yang kental. Kedua, gudeg basah, disajikan dengan areh yang sedikit cair.

Ketiga, gudeg manggar yang dimasak dengan putik bunga kelapa. Sayangnya gudeg manggar ini susah ditemukan karena langka dan jarang sekali orang membuatnya.

Gudeg memiliki sejarah yang panjang, bahkan makanan ini ada sebelum Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta berdiri.

Hidangan gudeg tidak hanya diolah dengan menggunakan nagka muda tetapi juga ada yang diolah dari rebung. Namun, yang sering dikonsumsi dan dijual adalah gudeg yang terbuat dari nangka muda.

Gudeg

 

Macam Sejarah Gudeg

Sejarah gudeg ini sebenarnya belum pasti dan banyak ragamnya. Ada sejarah yang mengatakan bahwa gudeg sudah ada sejak kepemimpinan Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam.

Pada saat itu Panembahan Senopati, Ki Ageng Pemanahan dan tokoh-tokoh lainnya, perlu membuka alas mentaok untuk mandirikan istana. Para pekerja dan prajurit pun membabat hutan tersebut, yang kelak dikenal dengan nama Yogyakarta. Ternyata di dalam hutan ini terdapat banyak pohon nangka dan  pohon kelapa.

 

Baca juga: https: Apa sih Keunggulan Peci Batik Jogokariyan?

 

Versi  lainnya menceritakan gudeg sudah ada sejak kepemimpinan Sultan Agung Hanyokrokusumo, cucu Panembahan Senopati. Gudeg menjadi makanan para prajurit yang yang menyerang VOC di Batavia.

Namun sejarah tersebut masih diragukan karena pada saat itu hanya terdapat gudeg basah dan jenis ini tidak bisa bertahan lama. Sedangkan penyerangan ke Batavia membutuhkan waktu yang lama dan jarak tempuh yang sangat jauh.

Sejarah lainnya mengatakan gudeg dikenal pada tahun 1819. Menurut Serat Centhini, gudeg adalah makanan rakyat di Jawa Tengah dan Yogyakarta pada saat itu.

Nama gedug diperoleh dari cara pengolahannya, yaitu diaduk-aduk atau dalam bahasa Jawa kita kenal dengan di-udek. Pengolahannya diaduk berulang-ulang dengan waktu yang lama dan di atas kayu besar agar tidak gosong.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa gudeg ini adalah makanan rakyat pada saat itu. Hal ini dikarenakan bahannya yang mudah ditemukan di halaman rumah mereka.

 

Inovasi Gudeg

Pada mulanya gudeg yang dikenal itu adalah gudeg basah atau nyemek. Namun gudeg basah ini mempunyai kekurangan yaitu tidak bisa bertahan lama dan tidak bisa dibawa perjalanan jauh.

Akhirnya muncul inovasi untuk membuat gudeg kering, salah satu jenis yang dapat bertahan lama. Pengolahannya pun juga lama, dimasak hingga kuahnya kering, warnanya juga lebih cokelat serta rasanya juga lebih manis.

Olahan ini dapat bertahan hingga 24 jam, bahkan lebih jika dimasukkan ke lemari es.

Zaman semakin canggih, gudeg pun juga mempunyai inovasi baru yaitu gudeg kaleng.

Olahan gudeg tidak hanya dikenal di Yogyakarta tapi juga di Surakarta atau Solo yang memiliki ciri khasnya sendiri. Gudeg sekarang tidak hanya dijual di lesehan atau kaki lima tetapi juga bisa ditemukan di restoran dan hotel.

Gudeg menjadi makanan yang dirindukan bagi sebagian pecinta kuliner. Bahkan orang yang pernah tinggal di Yogyakarta sangat merindukan gudeg.

Itu dia sejarah singkat gudeg, walaupun memiliki banyak versi sejarah.

Selain gudeg, produk-produk dari pecibatik juga dapat digunakan sebagai oleh-oleh jika berkunjung ke Yogyakarta. Semoga bermanfaat!