Kenapa Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara Harus berbeda Tempat

Kenapa Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara Harus berbeda Tempat

Pada masa Kerajaan Majapahit, alun-alun pusat dapat disebut dengan sebuah ruang publik. Bentuk dari ruang tersebut berupa halaman atau pendopo dalam lingkup istana atau kerajaan.

Kebaradaan alun-alun juga tidak terlepas pada makna dan filosofi yang terkandung di dalamnya. Terutama alun-alun yang terdapat di Keraton Yogyakarta yang tidak terpisah dari Pangeran Mangkubumi.

Pada saat itu sebagai pendiri Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi memang mahir dalam ilmu filsafat maupun arsiktektur. Berkat kemahiran Beliau lah, Kesultanan Yogyakarta diwarnai dengan struktur dan simbol-simbol yang penuh makna.

Pada awalnya alun-alun merupakan tempat penyelenggaran. Sedangkan pada zaman kerajaan, alun-alun mempunyai fungsi sebagai tempat latihan para prajurit kerajaan.

Selain itu, juga menjadi tempat di mana raja mengumumkan titah atau sayembara kepada rakyatnya. Titah atau sayembara kegiatan-kegiatan lainnya yang dilakukan oleh kerajaan.

Bangunan-bangunan yang berdiri di dalam Keraton Yogyakarta memiliki sebuah rangkaian polar. Rangkaian tersebut berlandaskan filosofi. Begitu pula dengan garis imajiner yang membentang lurus antara Tugu Golong Gilig dan Panggung Krapyak serta Alun-alun Selatan dan Alun-alun Utara.

Alun-alun Selatan

Tata letak Alun-alun Selatan Keraton Yogyakarta, dikenal dengan nama Alun-alun Pangeran, masih berada di dalam lungkup Benteng Keaton. Alun-alun selatan juga mempunyai beberapa fungsi, salah satunya dijadikan sebagai tempat pemeriksaan pasukan menjelang upacara Garabeg.

Alun-alun Selatan memiliki ukaran 150 x 150 meter persegi dan dikelilingi pagar setinggi dua meter. Terdapat lima jalan yang digunakan untuk jalan masuk dan jalan keluar. Kelima jalan tersebut adalah Jalan Langenasran Kidul, Jalan Langenastran Lor, Jalan Patehan Lor, Jalan Gading dan Jalan Ngadisurian.

Dalam alun-alun selatan juga terdapat suatu kegiatan yang dinamakan masangin. Kegiatan ini berupa masuk di antara pohon beringin, di mana pengunjung yang berjalan melewati kedua pohoh beringin itu harus menggunakan penutup mata.

Alun-alun Selatan ini ditandai dengan dua buah pohon beringin. Pohon ini juga disebut sebagai supiturang yang dikelilingi oleh pagar atau yang dikenal sebagai Ringin Kurung. Di antara pagar yang mengelilingi dua buah pohong beringin ini juga diberikan ornamen-ornamen indah berupa bulatan dan buntuk busur.

 

altar

 

Pada bagian pinggirnya terdapat pohon manga dan pohon klinik, yang dapat diartikan sebagai lambang kedewasaan dan keberanian. Sedangkan pada permukaan alun-alun ditutup dengan hamparan pasir yang berlambang bahwa indra kita masih labil. Mudah berubah laksana pasir sehingga dikatakan inilah manusia yang terjadi pada saat memasuki masa-masa akil baligh atau kedewasaan.

Alun-alun Utara

Sementara Alun-alun Utara yang memiliki luas antara 300 meter persegi. Pada bagian tengah Alun-alun Utara mempunyai dua pohon beringin kurung bernama Kyai Dewadaru dan Kyai Jana Daru yang dikenal dengan nama Kyai Wijaya Daru.

Menurut sejarah dalam Serat Saloka Patra, benih Kyai Jana Daru berasal dari Keraton Pajajaran sementara Kyai Dewadaru benihnya dari Keraton Majapahit. Secara keselurahan, makna daripada alun-alun beserta kedua pohon beringin di tengahnya menggambarkan konsep Manunggaling Kuwolo Gusti yang berarti bersatunya raja dengan rakyatnya dan bertemunya manusia dengan Tuhan.

Hal menarik di Alun-alun Utara lainnya adalah terdapat 62 pohon beringin yang mengelilinginya. Jumlah tersebut menggambarkan usia nabi Muhammad SAW ketika beliau meninggal dalam perhitungan Jawa.

Pada masa lalu, Alun-alun Utara dikelilingi pagar batu bata dan selokan. Air pada selokan dapat digunakan untuk menggenangi alun-alun saat dibutuhkan.

 

Baca Juga: 8 Fakta Unik dan Sejarah Yogyakarta yang Banyak Orang Belum Tahu

 

Selain sebagai tempat berlangsungnya acara Kesultanan Yogyakarta, Alun-alun Utara juga menjadi area jika masyarakat ingin mengadukan persoalan kepada Sultan.

Rakyat yang merasa tidak diperlakukan dengan adil akan berpakaian putih duduk di tengah alun-alun dan terik matahari hingga sultan melihat dan memanggilnya. Praktik mengadukan nasib di bawah sengatan mahatahri ini disebut laku pepe atau tapa pepe.

Alun-alun yang memebentang luas di muka keraton Yogyakarta maupun yang berada di pungkuran bukanlah semata ruang untuk menampung segala aktivitas warga kota seperti yang terlihat saat ini.

Kehadiran alun-alun ini memunuhi berbagai fungsi dan peran keraton sebagai pusat pemerintahan. Ruang terbuka luas ini menjadi elemen kawasan di sekitarnya, baik secara tata ruang maupun secara sosial.